Optimisme dan Nilai Hidup



By: Masyhur

(Sedang Belajar Menulis, Pengajar dan Kepala Rumah Tangga)

MENGENAI optimisme dan nilai hidup—tak syak lagi, topik menarik untuk ditulis. Sebab, secara langsung atau tidak, terlepas agama apapun dia—pasti ia punya pandangan prihal optimisme dan nilai-nilai yang seorang kembangkan dalam dan selama hidupnya. Tentang hal ini, saya tulis pada tahun 2020 di. Beberapa point pentingnya saya sebar di medsos, sisanya saya kirim ke media daring, dengan, tentunya, tambahan-tambahan ide dan gagasan.

Tapi saya memulainya dengan pandangan dan kacamata agama yang saya yakini tentang optimisme dan nilai hidup tersebut. Mengapa optimisme dikaitkan dengan nilai hidup? Sebab dalam keyakinan saya, optimisme-lah yang mendorong terlahirnya sikap-sikap positif yang lebih luas dalam sosial kehidupan masyarakat.

Sikap mulia yang diajarkan agama, salah satunya adalah sikap optimis(me). Optimis adalah orang yang selalu memiliki harapan ‘baik’ ketika, atau saat-saat menghadapi segala sesuatu. Optimis bisa juga dimaknai positif thinking (husnuzzhon, dalam bahasa agama) yaitu berpikir positif.

Sebagai salah satu sikap yang dianjurkan, maka optimisme memiliki makna yang sama dengan religiusitas. Dalam konteks ini, religiusitas dimaknai sebagai perwujudan sikap seseorang dalam hidupnya, sikap ini dilandasi oleh pengetahuannya terhadap hakikat hidup, yang mana hidup ini berada dalam kekuasaan ilahi.

Dengan kata lain, bangunan kesadaran manusia tumbuh dan semakin menguat manakala sadar bahwa seluruh apa yang ada dalam dirinya atas kehendak serta karunia Allah. Kesadaran ini menguatkan setiap individu bahwa ia dapat melakukan hal yang sama, punya kekuatan yang sama, kesempatan yang sama, dengan apa yang dimiliki orang lain bila berkeinginan meraih segala sesuatu dalam hidupnya.

"optimis tidak boleh membuat individu/seseorang dengan sikap optimismenya malah menjadikan sikap dan mentalnya lumpuh; lemah dalam berjuang. Sebaliknya, didasarkan optimisme tersebut, harus ada usaha-usaha yang nyata untuk dilakukan agar terlihat sejauh mana keinginan berjuang dan bekerja keras meraih sesuatu" 


Sebagai sikap yang dianjurkan oleh agama, optimis itu baik. Namun demikian, harus disadari bahwa sikap optimis tidak boleh membuat individu/seseorang dengan sikap optimismenya malah menjadikan sikap dan mentalnya lumpuh; lemah dalam berjuang. Sebaliknya, didasarkan optimisme tersebut, harus ada usaha-usaha yang nyata untuk dilakukan agar terlihat sejauh mana keinginan berjuang dan bekerja keras meraih sesuatu. Menggantungkan sepenuhnya kepada ‘optmisme’ itu hanya sebuah ‘optimisme belaka’, semu tak ada arti dan makna.

Optimisme belaka ini, hanya sebuah sikap dininabobokkan oleh sesuatu yang ada dalam pikiran/khayalan selintas lalu. Tentu hal ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam meraih sesuatu yang diharapkan. Apalagi melihat kondisi dan perkembangan kehidupan dewasa ini yang kerap menuntut optimisme. Optimisme akan memiliki makna, jika seseorang telah berjuang dan berusaha lebih dahulu untuk meraih impian dan harapan terhadap  sesuatu yang menjadi obsesi dan mimpi bagi siapa saja.

Dengan demikian, atas nama optimisme—selalu berharap dan selalu menginginkan hal-hal positif terjadi dalam hidup setiap hari, sebuah kemustahilan belaka.

Manusia boleh optimis namun harus menyadari bahwa optimis tak gampang dan mudah dipraktikkan. Lebih dari itu, tak selalu bisa diterapkan dalam beragam bentuk bentuk kehidupan dan realitas yang dihadapi. Optismisme memiliki ruang dan dimensi yang berbeda dengan optimisme yang dininabobokkan mimpi dan nihil kerja keras.

Perbedaan ini dapat dicermati dalam contoh berikut; ambil contoh, bahwa seseorang boleh optimis setelah berjuang dan bekerja keras untuk mewujudkan hasrat, cita-cita dan keinginannya. Ia membuktikannya dengan telah dan sedang melakukan banyak dan beragam cara, segala upaya diikhtiarkan demi meraih sukses, meraih mimpi-mimpi dalam hidupnya. Sedangkan optimisme yang dininabobokan oleh mimpi dan tiada usaha dan kerja keras; dapat digambarkan sebagai diam berpangku tangan. Hanya berharap sesuatu itu datang ke hadapannya, tanpa mau berusaha dan bekerja keras mewujudkan keinginan-keinginannya. 

Bila dikaitankan dengan sejumlah rentetan musibah dan bencana yang terjadi sekitar tahun 2018 seperti musibah gempa bumi dan tsunami, yang meluluh lantakan beberapa provinsi di Indonesia; NTB, Sulawesi dan Donggala. Belum lagi persoalan banjir di ibu kota Jakarta, disusul kemudian pada kurun waktu 2020. Pada tahun ini, bencana mewabahnya virus Corona/ Covid-19 secara global yang memakan korban jutaan manusia seantero dunia. Peristiwa-peristiwa itu terjadi, berimbas pada  banyak aspek kehidupan; baik politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya.

"Bangunan optimisme memuat pilar-pilar (sebagai kekuatan dan antispasi), sedang lantai (floor) usaha dan kerja keras, sementara atap (bangunan) adalah do’a dan kebergantungan terhadap sang pencipta"  

Menghadapi semua itu, dibutuhkan bangunan optimisme yang kuat di dalam diri, kerjasama yang sungguh-sungguh secara kolektif untuk bisa keluar dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Bangunan optimisme memuat pilar-pilar (sebagai kekuatan dan antispasi), sedang lantai (floor) usaha dan kerja keras, sementara atap (bangunan) adalah do’a dan kebergantungan terhadap sang pencipta.  Kalau hanya optimisme yang berdalih alasan ‘pongah’ dan ‘pasrah’ dan tidak mau bekerja keras untuk mengatasi persoalan yang dihadapi, bukan mempermulus jalan, sebaliknya, malah berbuah petaka dan kemalangan—inilah optimisme belaka--itu.

Contoh lain, misal, suatu hari, kita ingin membuat suatu acara yang besar dengan mengundang tokoh terpandang. Dengan rasa optimis kita yakin bahwa semua itu bisa terealisasi dengan sempurna. Namun kita lupa bahwa jika ingin melakukan itu harus diimbangi dengan sumber daya yang sesuai. Hari demi hari, minggu pun berlalu, seiring itu, ketakutan dan keraguan banyak orang terhadap acara yang hendak dilaksanakan, dalam pandangan mereka, tak akan bisa terlaksana. Pun kemudian,  acara besar yang hendak dilaksanakan sudah di depan mata. Hanya saja, optimis untuk bisa melaksanakan acara, masih tertancap kuat, sayangnya, menjelang acara, rencana besar menghadirkan tokoh terkenal, yang sebelumnya digadang-gadang di awal harus pupus karena sumber daya tidak mencukupi. Itulah optimisme, sebuah pemikiran yang berasaskan selalu baik dan pasti bisa. Dengan menutup mata akan kenyataan bahwa sumber daya tidak mencukupi, kita dengan keras kepala tetap ingin sebuah acara yang besar. Optimis yang kelewat batas bisa membuat semua orang keras kepala dan menutup mata terhadap kenyataan.


Post a Comment

Previous Post Next Post