(Sedang Belajar Menulis, Pengajar dan Kepala Rumah Tangga)
MENGENAI optimisme dan nilai hidup—tak syak lagi,
topik menarik untuk ditulis. Sebab, secara langsung atau tidak, terlepas agama
apapun dia—pasti ia punya pandangan prihal optimisme dan nilai-nilai yang
seorang kembangkan dalam dan selama hidupnya. Tentang hal ini, saya tulis pada
tahun 2020 di. Beberapa point pentingnya saya sebar di medsos, sisanya saya
kirim ke media daring, dengan, tentunya, tambahan-tambahan ide dan gagasan.
Tapi saya memulainya dengan pandangan dan kacamata
agama yang saya yakini tentang optimisme dan nilai hidup tersebut. Mengapa
optimisme dikaitkan dengan nilai hidup? Sebab dalam keyakinan saya,
optimisme-lah yang mendorong terlahirnya sikap-sikap positif yang lebih luas
dalam sosial kehidupan masyarakat.
Sikap mulia yang diajarkan agama, salah satunya
adalah sikap optimis(me). Optimis adalah orang yang selalu memiliki harapan
‘baik’ ketika, atau saat-saat menghadapi segala sesuatu. Optimis bisa juga
dimaknai positif thinking (husnuzzhon, dalam bahasa agama) yaitu
berpikir positif.
Sebagai
salah satu sikap yang dianjurkan, maka optimisme memiliki makna yang sama
dengan religiusitas. Dalam konteks ini, religiusitas dimaknai sebagai
perwujudan sikap seseorang dalam hidupnya, sikap ini dilandasi oleh
pengetahuannya terhadap hakikat hidup, yang mana hidup ini berada dalam
kekuasaan ilahi.
Dengan
kata lain, bangunan kesadaran manusia tumbuh dan semakin menguat manakala sadar
bahwa seluruh apa yang ada dalam dirinya atas kehendak serta karunia Allah.
Kesadaran ini menguatkan setiap individu bahwa ia dapat melakukan hal yang
sama, punya kekuatan yang sama, kesempatan yang sama, dengan apa yang dimiliki
orang lain bila berkeinginan meraih segala sesuatu dalam hidupnya.
"optimis tidak boleh membuat individu/seseorang dengan sikap optimismenya malah menjadikan sikap dan mentalnya lumpuh; lemah dalam berjuang. Sebaliknya, didasarkan optimisme tersebut, harus ada usaha-usaha yang nyata untuk dilakukan agar terlihat sejauh mana keinginan berjuang dan bekerja keras meraih sesuatu"
Sebagai
sikap yang dianjurkan oleh agama, optimis itu baik. Namun demikian, harus
disadari bahwa sikap optimis tidak boleh membuat individu/seseorang dengan
sikap optimismenya malah menjadikan sikap dan mentalnya lumpuh; lemah dalam
berjuang. Sebaliknya, didasarkan optimisme tersebut, harus ada usaha-usaha yang
nyata untuk dilakukan agar terlihat sejauh mana keinginan berjuang dan bekerja keras
meraih sesuatu. Menggantungkan sepenuhnya kepada ‘optmisme’ itu hanya sebuah
‘optimisme belaka’, semu tak ada arti dan makna.
Optimisme
belaka ini, hanya sebuah sikap dininabobokkan oleh sesuatu yang ada dalam
pikiran/khayalan selintas lalu. Tentu hal ini tidak dapat dijadikan pegangan
dalam meraih sesuatu yang diharapkan. Apalagi melihat kondisi dan perkembangan
kehidupan dewasa ini yang kerap menuntut optimisme. Optimisme akan memiliki
makna, jika seseorang telah berjuang dan berusaha lebih dahulu untuk meraih
impian dan harapan terhadap sesuatu yang
menjadi obsesi dan mimpi bagi siapa saja.
Dengan
demikian, atas nama optimisme—selalu berharap dan selalu menginginkan hal-hal
positif terjadi dalam hidup setiap hari, sebuah kemustahilan belaka.
Manusia
boleh optimis namun harus menyadari bahwa optimis tak gampang dan mudah
dipraktikkan. Lebih dari itu, tak selalu bisa diterapkan dalam beragam bentuk
bentuk kehidupan dan realitas yang dihadapi. Optismisme memiliki ruang dan
dimensi yang berbeda dengan optimisme yang dininabobokkan mimpi dan nihil kerja
keras.
Perbedaan
ini dapat dicermati dalam contoh berikut; ambil contoh, bahwa seseorang boleh
optimis setelah berjuang dan bekerja keras untuk mewujudkan hasrat, cita-cita
dan keinginannya. Ia membuktikannya dengan telah dan sedang melakukan banyak
dan beragam cara, segala upaya diikhtiarkan demi meraih sukses, meraih
mimpi-mimpi dalam hidupnya. Sedangkan optimisme yang dininabobokan oleh mimpi
dan tiada usaha dan kerja keras; dapat digambarkan sebagai diam berpangku
tangan. Hanya berharap sesuatu itu datang ke hadapannya, tanpa mau berusaha dan
bekerja keras mewujudkan keinginan-keinginannya.
Bila
dikaitankan dengan sejumlah rentetan musibah dan bencana yang terjadi sekitar
tahun 2018 seperti musibah gempa bumi dan tsunami, yang meluluh lantakan
beberapa provinsi di Indonesia; NTB, Sulawesi dan Donggala. Belum lagi
persoalan banjir di ibu kota Jakarta, disusul kemudian pada kurun waktu 2020.
Pada tahun ini, bencana mewabahnya virus Corona/ Covid-19 secara global yang
memakan korban jutaan manusia seantero dunia. Peristiwa-peristiwa itu terjadi,
berimbas pada banyak aspek kehidupan;
baik politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya.
"Bangunan optimisme memuat pilar-pilar (sebagai kekuatan dan antispasi), sedang lantai (floor) usaha dan kerja keras, sementara atap (bangunan) adalah do’a dan kebergantungan terhadap sang pencipta"
Menghadapi
semua itu, dibutuhkan bangunan optimisme yang kuat di dalam diri, kerjasama
yang sungguh-sungguh secara kolektif untuk bisa keluar dari
permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Bangunan optimisme memuat pilar-pilar
(sebagai kekuatan dan antispasi), sedang lantai (floor) usaha dan kerja keras, sementara atap (bangunan) adalah do’a
dan kebergantungan terhadap sang pencipta.
Kalau hanya optimisme yang berdalih alasan ‘pongah’ dan ‘pasrah’ dan
tidak mau bekerja keras untuk mengatasi persoalan yang dihadapi, bukan
mempermulus jalan, sebaliknya, malah berbuah petaka dan kemalangan—inilah
optimisme belaka--itu.
Contoh
lain, misal, suatu hari, kita ingin membuat suatu acara yang besar dengan
mengundang tokoh terpandang. Dengan rasa optimis kita yakin bahwa semua itu
bisa terealisasi dengan sempurna. Namun kita lupa bahwa jika ingin melakukan
itu harus diimbangi dengan sumber daya yang sesuai. Hari demi hari, minggu pun
berlalu, seiring itu, ketakutan dan keraguan banyak orang terhadap acara yang
hendak dilaksanakan, dalam pandangan mereka, tak akan bisa terlaksana. Pun
kemudian, acara besar yang hendak
dilaksanakan sudah di depan mata. Hanya saja, optimis untuk bisa melaksanakan acara,
masih tertancap kuat, sayangnya, menjelang acara, rencana besar menghadirkan
tokoh terkenal, yang sebelumnya digadang-gadang di awal harus pupus karena
sumber daya tidak mencukupi. Itulah optimisme, sebuah pemikiran yang berasaskan
selalu baik dan pasti bisa. Dengan menutup mata akan kenyataan bahwa sumber
daya tidak mencukupi, kita dengan keras kepala tetap ingin sebuah acara yang
besar. Optimis yang kelewat batas bisa membuat semua orang keras kepala dan
menutup mata terhadap kenyataan.
Post a Comment