“Apapun jenis
pekerjaan, selagi itu halal, kerjakanlah. Cintailah”. Ungkapan ini sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ungkapan itu
kerap kita dengar dari orang-orang tua, guru-guru kita. Para penceramah juga
kerapkali merafalkan ucapan-ucapan itu, dalam pengajian, diskusi lepas dan
sebagainya.
Sejenak, ungkapan yang sering kita dengar itu
melegakan perasaan. Dan bagi seorang yang kerap tidak melihat ke bawah,
ungkapan tadi bisa menjadi obat ampuh penyembuh kesadaran bagi yang selalu
tergiur kemewahan duniawi (jabatan, kekuasaan) dan lainnya.
Apabila dicermati, kata-kata di awal itu, cukup
menggugah dan membangun kesadaran kita sebagai manusia, agar tidak lekas
mengeluh dan berburuk sangka terhadap apapun dalam hidup ini, termasuk urusan
pekerjaan/profesi seseorang.
Apa sich sebenarnya profesi?. Dalam kamus Bahasa
Indonesia, profesi memiliki makna,
“Pekerjaan yang dilandasai oleh pengetahuan atau pendidikan tertentu”.
Sementara jika mengacu pada makna Kamus
Ilmiah Popular yang karya Pius A Partanto (2011: 627) profesi diartikan
riwayat pekerjaan; pekerjaan (tetap); pencaharian; pekerjaan yang merupakan
sumber penghidupan, termasuk juga jabatan.
Jika dua makna tadi diintergrasikan; maka profesi
adalah pekerjaan yang dilandasi oleh
pengetahuan atau pendidikan tertentu, yang mana pekerjaan tersebut merupakan
mata pencaharian dan sumber penghidupan bagi seseorang. Karenanya, dalam
konteks makna ini, maka mencintai profesi adalah sesuatu yang seharusnya memang
tertanam pada diri setiap orang. Sedangkan orang yang tidak mencintai
pekerjaannya adalah orang yang melupakan identitas pribadi sebagai sesuatu yang
melekat secara zahir maupun bathin.
Mencintai profesi adalah ajaran agama Islam. Islam
mengharuskan bahwa segala sesuatu yang baik harus dicintai dan disenangi.
Mencintai dan menyenangi suatu pekerjaan (baik) memiliki dampak positif bagi
pribadi, kelompok dan lingkungan. Sebaliknya, bila tidak memiliki rasa ‘cinta’
dan ‘senang’ terhadap suatu pekerjaan,
lebih banyak berdampak negatif bagi seseorang.
Dorongan dan motivasi bekerja dalam ajaran Islam tertuang secara eksplisit bahwa seseorang tidak boleh lupa bekerja setelah beribadah sebgai disebut (QS Al-Jumah: 10). Pun juga, tidak mencintai pekerjaan adalah karakteristik pribadi yang tidak sepenuhnya percaya bahwa ajaran agama menitahkan aktivitas sosial-ekonomi, dan aktivitas sosial-ekonomi adalah jalan menuju ketaqwaan kepada ilahi rabbi. Ada banyak manfaat mencintai profesi/pekerjaan, yaitu; pertama, rasa senang. Mencintai dan menyenangi pekerjaan akan menghadirkan ghirah dan rasa senang. Dengan ini kemudian, seseorang akan serius dan sungguh-sungguh dalam bekerja dan mengabdikan diri dalam suatu profesi; kedua, Inovatif. Karena mencintai profesi menghadirkan rasa senang, penciptaan terhadap suatu produk-jasa yang bersifat inovatif akan selalu lahir dan muncul. Berkaitan hal ini, dalam ilmu bisnis terdapat dua hal penting yaitu, inovasi skiil dan inovasi barang-jasa. Untuk mampu menciptakan dua hal penting tersebut, maka mencintai pekerjaan adalah salah satu syarat mutlak yang dibutuhkan; ketiga Syukur dan sabar. Mencintai profesi akan menjadikan manusia pandai bersyukur terhadap segala karunia yang diberikan oleh Allah. Selain itu, mencintai pekerjaan juga menjadi sarana tarbiyah (pendidikan) agar setiap individu selalu dapat mengontrol sikap dan tingkah laku pribadi agar selalu bersabar. keempat Ikhlas. Ikhlas adalah salah satu sifat yang gampang-gampang susah. Karenanya, dalam konteks sosial-ekonomi—mencintai profesi/pekerjaan bisa menjadi jurus ampuh agar sifat dan pribadi ikhlas terus tertanam dalam setiap pribadi; kelima Ibadah. Ini adalah tujuan utama dan paling utama dalam setiap aktivitas sosial-ekonomi manusia. Oleh karena itu, mencintai sebuah profesi, adalah bagian dari ibadah dan pengabdian kepada Tuhan yang memberi segala bentuk karunia dan nikmat.
Profesi,
Professional dan Profesionalisme
Profesi, Professional dan Profesionalisme tidak
asing dalam pendengaran kita sehari-hari. Terlebh lagi, dalam perkembangan
hidup yang semakin berubah dan mengalamai dialektika, atau apa yang disebut era
revolusi industri 4.0, bahkan—profesi, professional dan profesionalisme bisa
dibilang menjadi kunci bagi kehidupan modern, terutama sekali kaitan bisnis.
Juga menjadi barang yang langka dan sulit dalam urusan bisnis. Tak pelak, orang
berlomba-lomba menyebut dan menyatakan diri menjadi orang yang professional
dalam segala bidang. Semua perusahaan mencari dan membutuhkan tenaga/karyawan,
yang tidak hanya professional tetapi juga memiliki jiwa profesionalisme yang
tinggi.
"Mencintai profesi adalah ajaran agama Islam. Agama ini mengharuskan agar segala sesuatu yang baik harus dicintai. Disenangi. Mencintai dan menyenangi suatu pekerjaan (baik) memiliki dampak positif bagi pribadi, kelompok dan lingkungan"
Telah dikemukakan di awal, apa makna dari profesi. Sementara
professional adalah individu yang punya komitmen tinggi terhadap tugas dan
tanggungjawab dalam sebuah pekerjaan (profesi). Sonny Keraf (1998:36)
menjelaskan bahwa professional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan
karena ahli di bidang tersebut dan
meluangkan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk sebuah pekerjaan. Sedangkan profesionalisme itu sendiri
merupakan sifat atau keahlian yang melekat pada seseorang untuk melakukan
pekerjaan secara professional.
Orang yang melakukan pekerjaan dengan baik dan punya
komitmen tinggi menyelesaikan pekerjaan berarti telah menenerapkan sesuatu yang
disebut dengan profesionalisme. Karakteristik dari profesionalisme setidaknya
yaitu; pekerja keras, jujur, selalu melakukan terobosan-terobosan untuk menghasilkan
sesuatu yang lebih bernilai dan tidak pernah puas untuk melakukan apapun
pekerjaan yang dianggap baik dan memiliki tujuan mulia. Dalam agama, karakter
profesionalisme, agaknya dekat sekali dengan kesungguhan dan keseriusan
seseorang melakukan suatu profesi—inilah yang disebut jihad, jihad fi sabilillah. Jihad bermakna sungguh-sunggguh. Karena
itu, jihad dalam konteks aktivitas sosial ekonomi berarti bekerja dengan
sungguh-sungguh guna mencapai tujuan secara optimal.
“Mencintai profesi”—dengan demikian, menjadi
pilar-pilar dari seluruh aktivitas sosial manusia, dan jika pilar-pilar
(penyangga) aktivitas social ekonomi tersebut diterapkan, menghasilkan
profesionalisme (kesungguhan) melakukan suatu pekerjaan, inilah jihad fi sabilillah tersebut. Beberapa
ayat Al-Qur’an menekankan perlunya mencintai profesi agar seseorang bekerja
secara professional (QS.An-Nisa) dan
orang yang bekerja dan mencintai pekerjaannya, bersifat professional adalah
pribadi-pribadi yang disebut Al-Qur’an sedang meniti jalan menuju Tuhan-nya
(Al-Insyiqaq: 6). Islam mendorong agama
untuk bekerja, bekerja yang jelas dan sesuai prinsip syariah. Profesi dan
profesionalpun tampak menjadi prasyarat yang harus dipenuhi pemeluk muslim,
agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab aktivitas ekonomi secara baik
dan sistematis dan kontinyuitas (Nur Kholis, 2004:145) sesuai perintah Allah.
Bekerja bagi manusia adalah fitrah sekaligus
identitas kemanusiaan manusia itu sendiri. Untuk itu bekerja dengan landasan
dan tujuan syariat Islam, bukan hanya menunjukkan identitas keislaman seseorang
melainkan menjadikan posisi manusia terangkat dan bermartabat yang sekaligus
merupakan refleksi tugas manusia sebagai khalifah. Juga sebagai wujud rasa
syukur terhadap segala nikmat Tuhan. Lalu masihkah kita enggan bahkan tak sudi
mencintai sesuatu yang baik dan mulia dari pekerjaan?
Akhirul kalam, saya pikir, mencintai profesi kian
mendapat tempat di saat suasana pandemik global Covid-19 saat ini. Mengapa? Saya
yakin pembaca punya jawaban sendiri.[]
Post a Comment