ISLAM,
sebagai agama yang memiliki kesempurnaan tiada banding, suatau hal yang pasti
bahwa tidak ada ajaran di dalamnya yang menutup ruang bagi perkembangan dan
kemajuan hidup dalam berbagai aspek dan bidang kehidupan. Tak terkecuali di
bidang ekonomi.
Khususnya
di bidang ekonomi, dalam hal ini, aktivitas sosial ekonomi, Islam melarang
pemeluknya untuk jadi pengangguran.
Sebaliknya,
Islam menekankan pemeluknya, siapa saja untuk senantiasa rajin dan menolak
semua bentuk dan ragam kemalasan? Ada ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan
bahwa tujuan manusia diciptakan oleh Allah ke muka bumi, adalah bertujuan
ibadah (QS.Al-Dzariyat: 56).
Dari
ayat tersebut dapat dicermati bahwa sesungguhnya, manusia hidup di muka bumi
ini memiliki tujuan yang jelas. Karena tujuannya jelas, maka setiap manusia,
tanpa kecuali harus meniti jalan yang diarahkan ‘jelas’ oleh Allah tersebut.
Jika tujuan yang ingin dicapai jelas, maka cara dan metode serta pendekatannya
pun memiliki tahapan-tahapan, langkah-langkah yang tepat, atau dalam bahasa
ilmu organisasi dan atau manajemen, yaitu terstruktur. Ini menunjukkan bahwa
ada perintah untuk melakukan sesuatu yang mengarah pada tujuan yang ditempuh.
Islam menganjurkan agar setiap orang diharapkan tidak meminta-minta. Malah,
Islam mendorong pemeluknya agar berperan sebagai pemberi (al-yadul ulya, khairum min al-yadus as-supla: tangan di atas lebih
baik dari tangan di bawah). Hadist lain
yang artinya, “Dunia ini bergetar, tidak
ridho, kalau orang yang masih sehat tidak mampu melakukan apa-apa”.
Melarang menjadi beban kehidupan orang lain/tetangga, melarang sikap malas,
membenci segala bentuk sikap pasif dalam sesuatu yang ditujukan untuk sesuatu
yang mulia. Sebaliknya, agama Allah mengharuskan, mewajibkan setiap orang untuk
menghilangkan segala bentuk-bentuk dan praktik sikap (pasif) melainkan aktif
(melakukan sesuatu), terlebih lagi dalam urusan ekonomi.
Setiap
muslim, dalam kehidupan sehari-hari dianjurkan untuk selalu bangun pagi untuk
sholat subuh. Setelah sholat subuh, Islam memotivasi pemeluknya untuk melakukan
hal-hal yang bermanfaat (bekerja), bukan terlena dengan sikap malas dengan
tidur kembali. Ini menunjukkan betapa Islam, bagi setiap orang--untuk bertindak
aktif. Apakah ini tidak cukup bagi kita untuk berfikir bahwa agama melarang
sikap malas?.
Kalau
sikap malas, tidak mau bekerja dan enggan mencari nafkah, bagaimana seseorang
bisa memenuhi kewajiban untuk memelihara, menjaga diri dan keluarganya? Sangat
mustahil sesuatu yang kita inginkan tiba-tiba ada di hadapan kita. Segala
sesuatu yang diinginkan pasti melalui proses, tak ada yang serba tiba-tiba,
melainkan harus ada tindakan-tindakan dari seseorang yang menginginkan sesuatu
itu.
Terdapat
satu kisah menarik. Kisah ini menceritakan tentang sikap malas. Setidaknya,
bisa menjadi gambaran bahwa Islam melarang umatnya; jadi pengangguran.
Seorang
Imam Abu Hanifah. Suatu ketika sedang berjalan-jalan. Beliau melewati sebuah
rumah yang jendelanya masih terbuka. Pada saat itu beliau mendengar suara orang
yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Keluhannya mengandung kata-kata, “Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini,
agaknya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Aku
seorang pengangguran. Sejak pagi belum datang sesuap nasi atau makanan pun di
kerongkongku sehingga seluruh badanku menjadi lemah lunglai. Oh, manakah hati
yang belas ihsan yang sudi memberi curahan air walaupun setitik.”
Pertanyaannya: saat ini kita banyak nganggur, lantaran Covid-19? Jawabannya memang, gampang-gampang susah. Tetapi yang pasti, banyak hal-hal kreatif, bisa dilakukan, meski kita masih dalam kondisi dan situasi sebagai efek dari Covid-19. Selain memang, Penulis haqqul yakin bahwa ujian Covid-19 yang tengah kita hadapi saat ini, menyimpan banyak hikmah. Hikmah bagi manusia dan kehidupan ini
Mendengar
keluhan itu, ada perasaan yang dirasakan Abu Hanifah. Tanpa berpikir panjang,
beliau balik pulang ke rumah. Dibawanya, bingkisan untuk ia berikan kepada
orang itu. Dia pun sampai ke rumah orang itu dan melemparkan bungkusan yang
berisi uang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya. Sesaat
kemudian, si malang kaget melihat bingkisan yang tergeletak di sekitar
rumahnya. Dalam hati si malang bertanya, “dari mana datangnya bingkisan ini?’
“Siapa yang menaruhnya?”. Namun demikian, tanpa berpikir panjang, si malang,
dengan cepat mendekatinya, lantas membuka bingkisan tersebut. Setelah dibuka,
ternyata bungkusan itu berisi uang dan secarik kertas yang bertulis, ”Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu
mengeluh sedemikian itu, kamu tidak perlu mengeluh tentang nasibmu. Ingatlah
kepada kemurahan Allah SWT dan cobalah bermohon kepada-Nya dengan
bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah
terus.”
Keesokan
harinya, Imam Abu Hanifah melewati rumah itu lagi. Suara yang sama beliau
dengar, seperti pertama kali mendengarnya. “Ya
Allah Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan
bungkusan lain seperti kemarin, sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat
ini. Sungguh jika Tuhan tidak memberiku, akan lebih sengsaralah hidupku, wahai
penentu nasibku.”
Mendengar
keluhan itu lagi, Abu Hanifah pun melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan
secarik kertas dari luar jendela itu, lalu dia pun meneruskan perjalanannya.
Orang itu sangat gembira mendapat bungkusan itu. Lantas ia membukanya. Seperti
dahulu juga, di dalam bungkusan itu tetap ada carikan kertas lalu dibacanya,
“Hai kawan, bukan begitu cara memohon, bukan demikian cara berikhtiar dan
berusaha. Perbuatan demikian, tiada lain dan tiada bukan; adalah perbuatan
malas. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha
Tuhan melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan
dirinya. Jangan berbuat demikian. Hendaklah bekerja dan berusaha karena
kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang
hidup tidak boleh duduk diam tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak
akan mengabulkan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan
mengkabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang
halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan
Allah. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus
asa. Nah, carilah segera pekerjaan. Saya doakan semoga cepat sukses.” Setelah
selesai membaca surat itu, dia termenung. Dia insaf dan sadar akan kemalasannya
karena selama ini dia tidak berikhtiar dan berusaha. Keesokan harinya, dia pun
keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun
berubah mengikut peraturan-peraturan hidup (Sunnah Tuhan) dan tidak melupakan
nasihat orang yang memberikan nasihat itu.
Hikmah
yang bisa dipetik dari kisah tersebut, bagaimana agar seorang muslim tidak
boleh diam berpangku tangan tanpa melakukan sesuatu apapun yang bisa merubah
hidupnya. Ada satu riwayat dari seorang Abu Zar dan Al-Hakim, “Sesungguhnya
Ruhul Qudus membisikkan bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan
sempurna rezekinya. Karena itulah kamu harus bertakwa kepada Allah dan
memperbaiki mata pencaharianmu. Jika datangnya rezeki itu terlambat maka jangan
memburunya dengan bermaksiat karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa
diraih dengan taat pada-Nya.”
Di
sinilah semakin tergambar pentingnya memahami ekonomi syariah. Prinsip sistem
ekonomi syariah adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan.
Capaiannya adalah membawa perekonomian nasional pada pertumbuhan yang inklusif,
berkelanjutan, dan kokoh menghadapi krisis (Masterplan Ekonomi Syariah
Indonesia/MES-I, 2009-2023: 32).
Ekonomi
syariah adalah ajaran praktik yang sesuai dengan nilai dan ajaran Islam. Segala
bentuk praktik termasuk segala bentuk tindakan pasif (diam), seperti
pengangguran, tidak diperkenankan titah ilahi yang terkandung dalam ajaran
Islam. Banyak sekali pesan-pesan religius yang mendorong setiap orang untuk
melakukan aktivitas sosial ekonomi. Aktivitas sosial ekonomi, bisa menghasilkan
manfaat yang banyak bagi kehidupan. Ajaran ekonomi syariah, sebagaimana
diungkapkan Syafi’i Antonio “Memplaning untuk mereduksi pengangguran”
menunjukkan bahwa gagasan-gagasan ekonomi syariah turut serta berupaya
mengatasi problem ekonomi bangsa, pengangguran, upaya mengentaskan kemiskinan
dan sebagainya.
Sikap nganggur (pengangguran) tidak ada dalam Islam. Al-Qur’an surat Al-Hud (ayat 6) menjadi jawaban bahwa Islam tidak mengajarkan pemeluknya jadi pengangguran: “Dan tidak ada satu hewan melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata (laukhil mahfuzd).”
Pengangguran
Beragam Jenis
Bicara
tentang pengangguran, memang akan banyak hal dibahas dan diuraikan. Hal ini
karena pengangguran ini beragam jenisnya. Dalam konsep umum, misalnya,
menganggur tidak disamakan dengan tidak bekerja atau tidak mau bekerja. Orang
yang tidak mau bekerja, tidak dikatakan sebagai pengangguran. Sebab jika dia
ingin mencari pekerjaan (ingin bekerja), mungkin akan segera mendapatkannya.
Jadi, singkat kata, definisi ekonomi tentang pengagguran tidak selalu identik
dengan tidak (mau) bekerja. Seseorang baru dikatakan mengangggur bila dia ingin
bekerja dan telah berusaha mencari kerja, namun tidak mendapatkannya.
Gambaran
di atas, tentu akan semakin memberikan sesuatu yang ndjlimet, sehingga yang tidak diperbolehkan agama sebagai kata
pengangguran adalah yang mana dan konteks apa?. Pengangguran yang dimaksud
dalam tulisan dan menjadi fokus; penganggguran yang melahirkan sifat malas,
sama sekali tidak mau bekerja dan melakukan hal-hal positif agar memberi dampak
ekonomi yang positif bagi diri, kelompok, masyarakat dan negara. Ini adalah
kriteria umum pengangguran yang tidak dibolehkan dalam agama.
Dalam
tulisan ini, akan dikemukakan beberapa point penting sejauh pemahaman penulis
tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penganggguran. Yang umum
pengangguran bisa disebabkan; pertama,
oleh adanya gap yang tajam antara angkatan kerja yang tidak seimbang dengan
kesempatan kerja. Pendek kata, terjadi ketidakseimbangan apabila jumlah
angkatan kerja lebih besar dari pada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi
sebaliknya sangat jarang. Kedua,
struktur lapangan kerja tidak seimbang. Ketiga,
jumlah jenis tenaga terdidik dan tersedianya kesempatan kerja yang tidak
seimbang. Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada
angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu
terjadi kesesuaian antara tingkat pedidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia.
Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak
dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia. Keempat, adanya peningkatan peran dan aspirasi angkatan kerja
wanita dalam seluruh struktur angkatan kerja Indonesia. Kelima, penyediaan dan
pemanfaatan tenaga kerja antar daerah tidak seimbang. Jumlah angkatan kerja
disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja, sedangkan di
daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerahh lain,
bahkan dari suatu negara ke negara lainnya. Keenam. Kebijakan juga sering menjadi akibat yang menyebabkan
terjadinya pengangguran. Adanya keberpihakan pemerintah terhadap
kelompok-kelompok yang hanya memberi dukungan saja waktu pemilu juga menjadi
bagian dari penyebab terjadinya pengangguran. Faktor keenam ini dapat diatasi
dengan adanya kesadaran kolektif bangsa untuk mengurai benang kusut
pengangguran.
Pengangguran
memang persoalan kompleks. Pengangguran tidak hanya menjadi penyakit bangsa
Indonesia, tetapi juga menjadi penyakit semua di negara di dunia.
Dalam
Islam, materi pelajaran-pelajaran yang terkait dengan takdir, kita mengenal ada
dua jenis takdir; takdir yang bisa diubah dan takdir yang tidak bisa diubah,
melainkan telah menjadi ketentuan sejak azaali. Dalam kaitan pengangguran,
pendapat Ulama kontemporer Yusf Qardhawi, yang membagi dua jenis pengangguran,
menarik dikemukakan. Beliau membagi menjadi dua yaitu, pertama Pengangguran Jabariyah (terpaksa). Suatu pengangguran di mana seseorang tidak
mempunyai hak sedikit pun memilih status ini dan terpaksa menerimanya.
Pengangguran seperti ini umumnya terjadi karena seseorang tidak mempunyai
keterampilan sedikitpun, yang sebenarnya bisa dipelajari sejak kecil sebagai
modal untuk masa depannya atau seseorang telah mempunyai suatu keterampilan
tetapi keterampilan ini tidak berguna sedikitpun karena adanya perubahan
lingkungan dan perkembangan zaman.
Kedua, pengangguran
Khiyariyah (pilihan). Seseorang yang memilih untuk menganggur padahal dia pada
dasarnya adalah orang yang mampu untuk bekerja, namun pada kenyataannya dia
memilih untuk berpangku tangan dan bermalas-malasan hingga menjadi beban bagi
orang lain. Dia memilih hancur dengan potensi yang dimiliki dibandingkan
menggunakannya untuk bekerja. Dia tidak pernah mengusahakan suatu pekerjaan dan
mempunyai pribadi yang lemah hingga menjadi sampah masyarakat.
Adanya pembagian kedua kelompok ini mempunyai kaitan erat dengan solusi yang menurut islam untuk mengatasi suatu pengangguran. Kelompok pengangguran jabariyah perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar mereka dapat bekerja. Sebaliknya, Islam tidak mengalokasikan dana dan bantuan untuk pengangguran khiyariyah karena pada prinsipnya mereka memang tidak memerlukan bantuan, karena pada dasarnya mereka mampu untuk bekerja hanya saja mereka malas untuk memanfaatkan potensinya dan lebih memilih menjadi beban bagi orang lain.
Dampak Pengangguran
Krisis
ekonomi dan moneter pernah singgah di negeri ini pada kurun waktu 1997.
Akibatnya, membawa dampak yang cukup luas dalam masyarakat. Salah satu
indikator yang jelas adalah meningkatnya jumlah pengangguran yang akan
berpengaruh pada kondisi sosial, ekonomi, keamanan, politik dan stabilitas
nasional. Permasalahan tersebut tidak dapat dipecahkan tanpa adanya introspeksi
yang mendalam terhadap segala kebijaksanaan yang telah dikeluarkan baik oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi
nasional dengan kebijakan ekonomi yang mengarah kepada ekonomi kerakyatan dan
perencanaan yang bersifat bottom up perlu mendapat dukungan.
Pengangguran
dilarang dalam Islam. Artinya, Islam tidak mengenal sama sekali orang yang
berada dalam posisi tidak berbuat apa-apa (tidak melakukan aktivitas sosial
ekonomi). Ingat dalam ajaran agama, sesuatu yang dilarang, perlu diketahui,
sebab mengandung murka Allah. Kata lainnya, Allah tidak senang. Sedangkan bila
sesuatu itu, dianjurkan, maka ada rahmat dan petunjuk Allah di dalamnya
(hikmah).
Untuk
itu perlu disebutkan dampak buruk dari pengagguran, antara lain yaitu; pertama, terganggunya stabilitas
perekonomian. Dalam kaitan ini ada beberapa hal di dalamnya yaitu; melemahnya
permintaan agregat, melemahnya penawaran agregat. Kedua, tergangggunya stabilitas sosial politik (Rahardja, 2008:
382). Dampak lain, yang lebih konkrit akibat dari pengangguran adalah; 1) ide
dan gagasan tidak berkembang. Akibat dari ide dan gagasan yang tidak berkembang
aspek-aspek potensial ekonomi (sumber daya alam/SDA) tidak berkembang, statis.
2) Terjadinya konflik horizontal. Saat di mana kemiskinan dan pengangguran
merajalela, maka rasa malas akan muncul. Mengakibatkan terjadinya pencurian dan
perampokan di sana-sini. 3) Tidak adanya jiwa kemandirian dan banyak lagi
dampak buruk lainnya. Lenyapnya ta’awun
(tolong-menolong). Inilah beberapa pokok yang sifatnya umum dari apa yang
ditimbulkan pengangguran. Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah Saw
bersabda, “Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu
bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia
meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Alhasil, pengangguran
sangat bertentangan ajaran-ajaran Islam. Dalam konteks sosial ekonomi, pengangguran hanya akan mendatangkan
kesengsaraan (kemiskinan, kemelaratan) dan membuat hidup tidak memiliki arti.
Dalam konteks ajaran agama, pengangguran bukanlah substansi makna hidup dalam
kehidupan. Juga dari beragam aspek sosial dan budaya, pendidikan dan politik.
Pertanyaannya: saat ini kita banyak nganggur, imbas pandemic Covid-19? Jawabannya memang, gampang-gampang susah. Tetapi yang pasti, banyak hal-hal kreatif yang bisa dilakukan, meski kita masih dalam kondisi dan situasi sebagai efek dari Covid-19. Selain memang, Penulis yakin seyakin-yakinnya bahwa ujian Covid-19 yang tengah kita hadapi saat ini, menyimpan banyak hikmah. Hikmah bagi manusia dan kehidupan ini.[]
Post a Comment