Hidup Hanya Sementara (Sambungan)



By: Masyhur

(Penulis, Pengajar dan Kepala Rumah Tangga)


Dalam Islam, seorang muslim harus memiliki pandangan tentang hidup ini jauh ke depan, dan jauh melampui manusia pada umumnya, terutama yang non-muslim. Prinsip pandangan ‘hidup jauh kehidupan’ ini bukan semata-mata untuk tujuan yang lain, melainkan untuk tujuan hidup manusia itu sendiri. Pertama-pertama, manusia ditunjuk menjadi khalifah di muka bumi seperti terdapat dalam QS Al-Baqarah bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dengan sebab, manusia menjadi khalifah, maka dalam menjalankan hidup ia harus mampu mengabdikan kehadiran dirinya secara maksimal, sebelum ia meninggalkan hidup di dunia. Dengan kesadaran religious tentang hidup, bahwa hidup ‘hanya sementara’, maka, dengan segera ia sadar untuk segera melakukan sesuatu yang bermanfaat mumpung masih hidup. Dengan kebaikan-kebaikan (amalun sholih), maka orang yang hidup setelahnya, akan mendapatkan kemudahan, kebermanfaatan untuk mensyiarkan dakwah Islam. Kalau betul-betul ia sadar bahwa ia akan hidup sementara, maka dengan sekuat tenaga dan kemampuan yang dimilikinya, sedianya akan dimanfaatkan untuk ibadah.

Konsep hidup sementara, memberikan kita pemahaman bahwa ketika seseorang terlalu mengejar ‘sesuatu’ yang bersifat duniawi, sedangkan terdapat sesuatu yang memang tidak harus ditinggalkan maka ia kembali berfikir seribu kali untuk tidak terobsesi dalam kegagalan. Ketika seseorang menjalankan konsep dengan konsep hidup sementara, ia merasa dirugikan, ketika ia tidak mampu berbuat,dan berjuang di jalan Allah.

Konsep hidup sementara harus diposisikan secara proporsional. Konsep hidup sederhana sebuah neraca yang mampu mempertimbangkan bahwa ‘ini’ jalan kebaikan, di satu sisi. Di sisi yang lain ‘itu’ jalan keburukan.

Ada banyak sisi-sisi yang mampu kita tampilkan, selain juga menggugah perasaan, untuk kita klasifikasikan ketika seseorang mampu menempatkan konsep hidup sementara yaitu: 1) Kesadaran religius (sense of religious). Kesadaran religius ini akan memperkuat kpribadian seorang individu agar tidak cepat goyah menjalani hidup. Kitapun kemudian, memiliki sifat-sifat seperti yang Cak Nur (Dalam Rachman, 2013:180) sebut; seperti  sikap lapang dada, sabar, dan tahan menderita. Ketiga sikap ini mewujud dalam tindakan dan perilaku sosial kita sehari-hari yang terbalut nilai-nilai religious kehidupan; 2) Tujuan hidup yang jelas. Pada konteks ini, maka setiap orang yang merasa benar-benar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, dan hidup di akhirat adalah hidup yang kekal dan abadi, maka secara otomatis ia akan memprioritaskan apa yang menjadi tujuannya agar mana, tujuan di dunia sejalan dengan tujuan di akhirat di kemudian nanti; 3) Tidak cinta dunia. Jika sudah mampu memenuhi point kedua, maka seseorang tidak terjebak pada hubbud dunnia—terlalu (mencintai dunia) sehingga melalaikan ia dari mengingat mati.

Memahami bahwa hidup ini hanya sementara, sesungguhnya mengajak kita memahami hakikat hidup yang bermakna.

Tiga hal di atas, sepertinya, mampu membuat kita tersadar dan mau merenung sejenak bahwa sesungguhnya hidup ini bersifat sementara, dan dengan sebab hidup sementara manusia tidak cenderung lupa, bersikap membabi buta terhadap dunia, tetapi bagaimana manusia mampu menyelaraskan kehidupan dunia  agar keselarasan itu bisa terhubung pada kebaikan kelak di akhirat. Mungkin ungkapan berikut, cukup memperjelas arah, maksud dan tujuan hidup—bila hidup berkonsep: hidup sederhana, “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu, seakan-akan engkau akan mati besok”. Kita dapat menangkap pengertian: hiduplah sesukamu, semaumu, tetapi jangan pernah lupa, bahwa ada akhirat, di mana kita akan mempertanggungjawabkan segala yang kita kerjakan selama hidup di dunia.

Memahami bahwa hidup ini hanya sementara, sesungguhnya mengajak kita memahami hakikat hidup yang bermakna. Apa hakikat hidup yang bermakna? Cak Nur, sebagaimana dikutip Budhy Munawwar Rachman (2013) adalah berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras adalah hakikat hidup yang bermakna. Sementara itu pengorbanan adalah tuntutan perjuangan tak yang tak terelakkan. Keduanya harus diiringi dengan sikap lapang dada, sabar, dan tahan menderita. Hanya pandangan hidup serupa itulah yang akan memberi kenikmatan hakiki dan kebahagiaan sejati.

Tampaknya, uraian di atas, perlu menjadi penguatan bagi diri pribadi agar tetap kuat dan tabah menghadapi kondisi dan situasi kehidupan yang semakin berubah dan mengalami goncangan dahsyat akibat berbagai faktor; baik faktor alami, seperti berbagai kejadian dan fenomena musibah, sebut saja misalnya yang sedang hangat diperbicangkan, seperti musibah gempa bumi, Tsunami dan lainnya. Juga yang pada tahun ini, ujian itu kembali menghadang dan seolah membuat kita tak berdaya, lantaran fenomena Covid-19. Cukup dahsyat imbas dari munculnya virus ini. Segala aktivitas manusia seperti lumpuh total. Kondisi perekonomian carut marut, pemerintah kalang kabut. Belum lagi persoalan bantuan yang salah sasaran, membuat kita semakin tak berdaya. Sementara faktor non-alami, diakibatkan oleh banyak faktor, sebab ulah tangan manusia yang tak bertanggungjawab. Pendek kata, maka, dengan usaha dan kerja keras, serta keinginan bangkit di tengah ujian yang dihadapi harus menjadi energi baru yang menghadirkan semangat untuk membendung tantangan-tantangan dalam berbagai aspek kehidupan. Di sinilah peran manusia sebagai khalifah akan semakin memiliki makna jika ikhtiar mewujudkannya tak pernah redup barang sedetikpun. 

Bila manusia terpusat pada pencarian materi, harta dan benda lantas ‘gegabah’ beranggapan bahwa harta benda dan apa yang dicarinya adalah segala-galanya. Jika manusia, melakukan transaksi ekonomi (bisnis, jual beli, perdagangan) dan sebagainya, dan beranggapan bahwa memperoleh untung adalah segalanya, terlebih lagi cara mendapatkannya menghalalkan segala cara. Bila manusia, selalu mendapatkan sesuatu dengan mudah, tanpa memanfaatkannya pada sesuatu yang mengarahkannnya pada jalan kebaikan—sesungguhnya, orang tersebut sama sekali adalah manusia yang tidak memahami arti dan hakikat hidup sesungguhnya. Dalam dirinya sama sekali tidak bersemayam bahwa hidup dan matinya adalah mutlak milik Tuhan; bisa diambil kapan saja, di mana saja. Sesungguhnya kelompok yang beranggapan sebagaimana di atas belum sempurna keberimanannya (inreligoous). 

Sikap hidup tidak religius, tertolak dengan sendirinya oleh ajaran Islam. Mengapa?

Musabbab, bahwa tujuan hidup bukan ditujukan semata untuk itu. Melainkan, itu hanya jalan, alat yang dapat digunakan untuk jalan pengabdian (ibadah) kepada Allah.

Sikap hidup secara umum, mengenai kehidupan dan pandangan manusia tentang kehidupan adalah berparadigma sebagaimana yang didogmakan Al-Qur’an, dan hadist nabi. Salah satu misalanya, bahwa manusia itu adalah khalifah Allah di muka bumi. Dunia adalah ladang, tempat menyemai kebaikan-kebaikan yang kelak di hari kemudian, akan diperoleh hasil dan ganjarannya.

Hidup di dunia pasti menemukan banyak ujian kehidupan. Banyak manusia yang jadi resah dan gundah gulana lantaran hidupnya tak semulus jalan tol, bahkan ada sebagian manusia yang dari kerikil kehidupan tersebut ia jatuh dan tak bisa bangkit lagi.

Apabila kita merasakan kesukaran dan menghadapi banyak masalah hidup di dunia ini, janganlah resah, berputus asa dan memiliki rasa kecewa, karena sesungguhnya Allah lebih tahu kondisi yang terbaik untuk manusia. Hadapi dengan bijak dan tetap berdoa untuk hari yang baik ke depannya

Kehidupan dunia begitu menggoda siapapun yang hidup di dalamnya. Segala sesuatu yang menawarkan kebahagiaan tersedia. Harta, kuasa, wanita adalah di antaranya. Setiap manusia pasti mengingnkan, sayang menikmati dunia seperti halnya kita menikmati minum air laut, semakin banyak kita minum, semakin haus kita rasa. Satu gung emas diberikan padanya, dia akan selalu merasa kurang dan mencari gunung emas kedua. Itulah sifat tamak manusia yang menjadi salah satu ciri orang yang bodoh. Menurut Abdul Majid (2011:133) orang yang bodoh tidak akan ragu untuk berbuat curang. Nafsunya untuk selalu menang dan berkuasa membuatnya tega menipu atau berbuat curang dengan saudaranya. Pikirannnya jahatnya selalu berjalan, hingga kegelapan yang menyelimuti dirinya. Bagi dia mengambil hak orang adalah kewajaran dan bukan tindak yang merugikan. Sikap ini tentu sangat bertentangan dengan sikap hidup yang religius. Orang-orong inilah yang tidak pernah mengerti hakikat hidup sesungguhnya. Ingatlah hidup ini hanya sementara (habis)

 


Post a Comment

Previous Post Next Post