Foto, Koleksi Buyung Sutan Muhlis
By: Buyung Sutan Muhlis*)
Ada yang tersimpan di balik penampilan yang nampak tak terurus.
Di dalam tubuh-tubuh yang sebagian besar lebih sering tak berbaju -- laki-laki
maupun perempuan.
Di warung es Encik Banjarmasin -- ia menyebutnya eigenaar --
jurnalis itu banyak mendapat informasi tentang Ampenan dan keadaan penduduknya.
Para pribumi demikian benci pada orang-orang asing, khususnya bangsa kulit
putih. Kebencian yang diperdengarkan dengan caci-maki dalam bahasa lokal.
Di pelabuhan Ampenan, setiap melihat kapal Belanda bertolak,
para tukang sampan selalu berseru, "Tenggelamkan, telanlah orang-orang
kulit putih itu!"
Dendam yang berakar, menahun. Muncul dari kesadaran pribumi yang
telah lama tertindas, yang menjadi kuli di negeri sendiri. Tetapi kesumat yang
menyala itu hanya tersampaikan pada laut. Berharap terlampiaskan pada
kegarangan gelombang dan ombak pantai Ampenan.
"Bangsa asli di sini tabiatnya sabar, tetapi separuh karena
fanatiknya (kepada agama), mereka membenci bangsa asing terutama bangsa putih
(Eropa). Karena kesabaran yang sudah menjadi adat, ini dimanfaatkan kaum
pertuanan dan manduran (para mandor). Mereka main keras dan sewenang-wenang
dengan tak ada halangan. Bukti-bukti ini saya lihat di sepanjang jalan,"
tutur WRS.
Beras Ampenan yang masyhur
Dari eigenaar warung, ia juga mendapat keterangan tentang
tempat-tempat pelesir yang sayang untuk dilewatkan. "Tetapi tidak ada
pemandangan bagus di sini. Hanya di Mataram, tempat kedudukan Controleur dari
bekas-bekas keraton Cakranegara," terang Encik Banjar.
Perjalanan menuju ke tempat itu tak sampai satu jam menggunakan
auto (mobil). Sewanya f 30 pergi-pulang.
Jika dikurskan dengan nilai mata uang sekarang, tarif rent car
di masa itu sekitar Rp 3 juta (f 1 = Rp 100 ribu). Hanya menempuh jarak tak
sampai 15 kilometer.
WRS yang tertarik untuk segera berkunjung, berembuk dengan dua
kawannya. Sayangnya pelajar-pelajar itu tak membawa uang. "Saya juga
berpikir bahwa uang f 30 amat sayang digunakan untuk pelesir yang hanya
sebentar saja," katanya.
Alternatif lain ditemukan, setelah mendapat informasi di Ampenan
ada tempat penyewaan sepeda. Pemiliknya orang Cina yang tinggal di pecinan.
Sama dengan kendaraan roda empat, sewa sepeda juga dihitung per jam. Akhirnya
tamasya terlaksana, dengan menyewa masing-masing sebuah sepeda yang bertarif 10
sen per jam.
Tiga sepeda dikayuh lambat-lambat, menyusuri jalan raya Ampenan
yang tak seberapa lebar. Setelah jembatan terlewati, jalanan agak menanjak. Di
salah satu sisinya berderet rumah-rumah permanen yang nampak baru saja
dibangun. "Sekarang saya baru tahu bahwa di Ampenan banyak juga bangsa
Belanda. Mereka ini kebanyakan para bekas anggota militer," katanya.
Selebihnya adalah sawah dan tanah lapang yang sangat luas, hijau
membentang.
Menurutnya, hutan-hutan dan lanskap-lanskap di sepanjang sisi
jalan adalah pemandangan yang sangat menarik. Tak salah jika Bangsa Eropa,
Australia, dan Amerika, memuji-muji tanah Hindia.
Pulau Lombok selain indah, tanahnya juga subur. Menyaksikan
betapa luasnya persawahan itu, sekaligus jawaban baginya mengapa beras Ampenan
begitu masyhur di mana-mana. Beras Ampenan juga dikonsumsi para pribumi dan
orang-orang asing di pulau-pulau lain. "Siapakah penduduk Celebes yang tak
mengenal beras Ampenan? Senanglah hati saya melihat bangsa saya, orang-orang
Hindia, bisa mengusahakan bahan makanan bagi kita. Bahwa para petani di Ampenan
itu sangat rajin, sehingga kita harus menghargai jasa mereka," puji WRS.
Ia bahkan lebih menghargai dan mengagumi jerih-payah petani
Ampenan daripada ilmuwan Belanda yang menciptakan meriam 42 cm. Atau doktor
Amerika penemu 52 zat beracun yang digunakan sebagai senjata biologi dalam
peperangan-peperangan.
BACA JUGA : AMPENAN 1924 (1)
Kira-kira setengah jam mengayuh, ketiganya sampai di sebuah
pasar. Tak ada nampak orang-orang asing di situ. Mereka mampir untuk menikmati
sup ayam. Kampung-kampung di sekitar pasar tak beda dengan keadaan di Ampenan:
kumuh.
Foto, Koleksi Buyung Sutan Muhlis
Andai saja WRS lebih dari sehari berada di Lombok, catatannya tentang pulau ini, setidaknya kondisi Kota Ampenan, Mataram, dan Cakranegara di tahun 1924, lebih lengkap dan akurat. Sayang ia hanya beberapa jam saja punya kesempatan ngelamang (keluyuran, bahasa Sasak) di pulau ini. Itu pun tanpa ada rencana. Tujuannya ke Pulau Jawa, bukan Lombok. Sama ceritanya dengan naturalis Alfred Russel Wallace di tahun 1856. Dari Singapura sebenarnya ia hendak ke Celebes. Tapi rute perjalanan mengharuskan ia mesti transit di Ampenan, menunggu beberapa bulan kapal yang membawanya ke Makassar. Untunglah ia mendapat anugerah paling berharga dari seluruh rangkaian perjalanan risetnya selama delapan tahun mengembara di Nusantara. Tanpa ke Lombok, takkan lahir garis imajinernya, garis Wallace yang kesohor itu.
Lombok, selama lebih dari setengah abad pasca perang 1894, minim data. Apakah lantaran tak memiliki penulis -- selain para penutur lisan?
Sebenarnya, Ampenan punya penulis hebat, bahkan eksis jauh sebelum negeri ini merdeka. Sama dengan WRS, ia juga tergabung sebagai anggota redaksi Pemberita Makassar. Boleh dibilang ia jurnalis angkatan pertama dari Lombok.
Namanya Soe Hong Hie. Sayang tak ditemukan tulisan-tulisannya tentang daerah kelahirannya. Beberapa artikelnya yang terbit di tahun 1932 banyak dikutip dalam penulisan buku sejarah tentang kedatangan orang-orang Tionghoa di Nusantara.
Kita kembali pada WRS dan kawan-kawannya yang kembesuhan (kekenyangan) setelah menyantap sup ayam di sebuah pasar di bilangan Mataram.
Sehabis makan mereka melanjutkan perjalanan. Mereka membelok ke arah selatan, melintasi hutan yang cukup luas. Rimba tua, karena banyak pohon raksasa yang tumbuh tak teratur. Beberapa diantaranya nampak mengering.
Di sekitar hutan juga ditemukan pecahan-pecahan batu dan banyak kuburan, menandakan di tempat itu pernah ada peradaban. Selama satu jam mengamat-amati, ketiganya tak berjumpa dengan seorang pun manusia. Ke luar kawasan itu, mereka kembali melihat hamparan sawah sejauh mata memandang, yang berdekatan dengan pemukiman orang-orang Hindu.
Jam setengah satu mereka sampai di depan kediaman controleur di Mataram. Bangunannya kecil dengan pekarangan tak seberapa luas namun bersih. Di sana terlihat beberapa ambtenaar dan orang partikelir. Di sekitarnya berdiri beberapa toko milik orang Cina. "Jalan di situ hanya bercabang dua. Terlihat banyak anak bertelanjangan," jelas WRS, dan menyebutkan di sekitar rumah controleur juga berdiri sebuah Sekolah Melayu dan sebuah lagi volkschool, sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak pribumi dengan masa belajar tiga tahun.
Seperempat jam perjalanan, mereka melihat bangunan-bangun tua yang sebagiannya rusak. "Di sini saya melihat bekas benteng Cakranegara," ungkapnya.
Di Cakranegara, tulisnya, penduduknya juga sangat banyak. Ia juga mengamati lingkungan yang berada di belakang benteng. Terdapat banyak pohon beringin besar. Rumah-rumah di situ masih utuh terpelihara, juga beberapa kuil. Hampir semua bangunan berukuran luas dan sangat artistik.
"Barang siapa yang mempelajari sejarah Cakranegara tentu akan memuji dan dapat mengira-ngira bagaimana besar kota itu pada zaman dulu. Bekas-bekas kota yang saya lihat sampai ke dalam kampung-kampung," sebutnya.
Mereka juga menyempatkan diri mengunjungi pasar Cakranegara. Tak beda dengan di Pulau Celebes, pasar di sini juga menjajakan bermacam benda hasil kerajinan tangan. Ada baliyung (semacam kapak) dan benda-benda dari bahan rotan. Dijual mulai dari 10 hingga 50 sen. Hasil-hasil kerajinan yang nampak halus dan apik.
Khawatir hujan akan turun, mereka kembali ke Ampenan menjelang senja. Ketiganya mengayuh sepeda dengan hati riang, sambil makan buah rompis (kemungkinan rambutan, tidak ada ditemukan nama buah ini di search engine).
Sekitar jam 5 sore mereka tiba di Kampung Cina di Ampenan. WRS membayar f 1,50 untuk sewa tiga sepeda yang dipakai selama lima jam. Sebelum kembali ke kapal mereka membeli makanan dan buah-buahan untuk dinikmati di perjalanan.
Benar cerita yang didengarnya di warung es pagi tadi. Tukang perahu yang mengantar kembali ke kapal terus-terusan berteriak, mengulang kata-kata kasar yang hampir sama. "Belot dengan-dengan puteq tie!" teriaknya disambut seruan yang sama para tukang sampan lain.
WRS tak banyak menulis tentang Ampenan. Tetapi, ada yang lebih penting daripada sekadar cerita tentang keasyikan perjalanan tamasya. Ada dendam kolektif yang mesti ia sampaikan ke publik. Dendam orang-orang Ampenan yang jika diterjemahkan adalah sikap antipati menentang penindasan yang telah lama berlangsung. Sama seperti kemuakan suku bangsa lain di Hindia yang terjajah kolonialisme berabad-abad. Dendam dan kesadaran sebagai kaum yang terbelenggu, akhirnya terepresentasi dalam ikrar bersama yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, empat tahun kemudian.
*) Penulis Lepas
Post a Comment