Segelas teh panas (foto:www.google.com/search?q=segelas+teh&safe=strict&sxsrf=ALeKk02-1O490tcKXsrz-e3wBY8f2pD0fA:
Saya diminta datang ke rumah salah seorang sahabat. Seperti tamu tamu lain yang datang, saya pun langsung bersila di berugak, usai melepas salam.
Jika
bertamu, kalau ditanya minum apa, saya biasanya lebih memilih kopi. Jarang
menjatuhkan pilihan teh. Tahu tidak kenapa? Iya karena jenis makanan dan
minuman terlalu manis aku kurang doyan. Aku baru suka yang ‘manis’ kalau itu
senyuman, terutama jika ibunya si kecil Orliniza yang tersenyum.
Tak
berselang lama, sahabatku itu bilang, “Minum apa? Teh atau kopi,” tanyanya
kepadaku.
“Hmm..teh aja dah,”jawabku.
Malam
itu, Aku memilih minum teh. Sebuah pilihan yang jarang sekali saya iyakan jika
ditawari tuan rumah. Tapi karena kondisi tubuh yang kurasakan ‘lain dari biasa’
entah kenapa, segelas teh tawarannya, ku iyakan.
Mulailah kami ngobrol banyak hal. Mulai dari kabar, kesibukan dan cerita tentang perkuliahan.
Seperti tikungan tajam yang menukik, obrolan kami tiba-tiba beralih begitu saja. Obrolan itu mengulas tentang salah seorang sahabat yang saat ini sedang ditimpa susah. Teman saya itu, saat ini diberikan ujian oleh Allah kekurangan banyak hal; termasuk materi.
Yang
menarik, sebelumnya, temanku yang sedang diuji ‘hebat’ oleh Allah saat ini,
adalah orang yang sukses dalam banyak hal. Bukan saja harta dan bendanya
melimpah, tetapi di perusahaan di mana ia bekerja, dia adalah tangan kanan si
bos. Pendek kata, senelumnya ia orang berada. Hidup serba berkecukupan.
Sayangnya, rizki dan kelebihan yang ia rasakan tak bertahan lama.
Ia
tiba tiba jatuh miskin. Sekedar urusan remeh temeh saja seperti dapur saja, ia
keblinger dan pusing tujuh keliling.
Cepat
sekali ya?
**
“Tak
ada yang sulit kalau Tuhan mengambil miliknya dari kita,” kata sahabatku itu.
Mulailah
sahabatku itu berkomentar. Ia pun begitu antusias bercerita.
Katanya, “Aku pernah merasakan itu. Bahkan lebih dari itu”.
Kalau lupa Tuhan, sambung temanku itu, apalagi lalai ibadah dan tak bisa bersyukur, pasti ia akan ditimpa nasib seperti itu.
Segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup ini, termasuk urusan bisnis dan aktifitas ekonomi lainnya adalah niat baik; niat untuk ibadah. Bekerja untuk ibadah. Bisnis niatkan ibadah. Niat karena Allah. Jangan yang lain.
Kalau
berdasarkan pengalaman dan apa yang saya tahu, salah satu penyebab, dari sekian
banyak faktor, “perilaku dan bisnis yang tidak jujur lah yang menyebabkan orang
seperti tadi, termasuk apa yang dialami teman kita itu”.
Jadi, dalam hemat saya, lanjut sahabatku itu, segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup ini, termasuk urusan bisnis dan aktifitas ekomomi lainnya adalah perlunya niat baik; niat untuk ibadah. Bekerja untuk ibadah. Bisnis niatkan ibadah. Niat karena Allah. Jangan yang lain.
Sebagai bukti, coba lihat, betapa banyak orang yang sibuknya minta ampun untuk bekerja. Di sana sini, bekerja. Tapi, kehidupan ekonominya tidak jauh lebih baik dari tetangganya yang sibuknya hanya sekedar. Mestinya, jika sibuk (sana-sini) bekerja, idealnya kehidupan akan lebih baik. Tapi ini tidak.
Bolehlah mengejar apa yang kita inginkan, tetapi harus dengan cara yang baik. Bolehlah dapat untung ‘bisnis’ tapi jangan sampai apa yang kita dapatkan, buat orang celaka dan menanggung rugi.
Saya kira, lanjutnya, dalam hidup yang serba sementara ini, sikap-sikap religius harus kita tanamkan dalam segala hal, apalagi untuk urusan mencari harta. “Bolehlah mengejar apa yang kita inginkan, tetapi harus dengan cara yang baik. Bolehlah kita dapat untung ‘bisnis’ tapi jangan sampai apa yang kita dapatkan, mencelakakan orang, membuat orang harus menanggung rugi,” ujarnya.
Aku khusyu mendengar apa yang disampaikan temanku itu. Jawaban sahabat itu, bukan seperti jawaban segelintir politisi yang berdalih ‘bela’ diri. Tetapi lebih karena jawabannya berdasarkan pengalaman yang pernah dilaluinya sepanjang hidup.
Aku percaya temanku itu, bukan hanya karena ia sahabatku, tetapi aku percaya bahwa pengalaman dan ilmu yang dibaginya kepadaku, adalah anjuran ajaran agama yang saya yakini; agama Islam. Sebuah ajaran agama yang memberikan standar nilai moral dan etika terhadap siapa saja yang mengaku muslim, baik dalam urusan bekerja dan berusaha (berbisnis).
“Bila
tiba waktunya, suatu saat pasti, akan ditegur Allah orang-orang yang lalai dari
kontrol Allah menghalakan segala cara demi mendapatkan harta benda,” terang sahabatku.
“Ilmu yang bermanfaat sekaligus menantang,”gumamku.
Kulihat jarum jam, sudah di angka 00.00. Wah malam begitu cepat. Kita cukup lama ngobrol. Saya harus pulang ini (unk).
Post a Comment