By: ROMI ALDI
Seperti halnya sistem ekonomi konvensional, ekonomi Islam juga punya aliran dan konsep sedikit berbeda. Jika dtelisik sejarah pemikiran dalam ekonomi, kemunculan aliran-aliran tidak lebih dan tidak kurang, berkaitan erat dengan situasi dan kondisi dan realitas yang terjadi
SEMPATBACA- Selepas membaca buku yang
ditulis salah satu akademisi UNU NTB, Mashur, S.E.I, ME, saya mengetahui, aliran-aliran
dalam Ekonomi Islam.
Berikut aliran-aliran dalam ekonomi Islam.
Hanya saja, ringkas saja, saya uraikan.
Pertama, Aliran Iqtishaduna. Mahzab ini dipelopolri Baqir as-Sadr
dengan bukunya yang fenomenal “Iqtishaduna”
(Our Economics/Ekonomi Kita). Mazhab ini
berpendapat ilmu ekonomi tak bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi
dan Islam tetap Islam. Keduanya tak bisa disatukan. Keduanya berasal dari
fislosofi yang kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang lainnya Islam.
Menurut pandangan mereka, perbedaan
filosofis ini berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat
masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi yang sudah kita kenal, masalah ekonomi
muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, sementara sumber
daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia jumlahnya terbatas. Mazhab
Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka Islam tidak mengenal adanya
sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah al-Quran. "Sesungguhnya telah kami ciptakan segala
sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepanya" (QS Al-Qomar [54]: 49). Selain
Muhammad Baqir as-Sadr, nama-nama seperti Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasani,
Kadim as-Sadr, Iraj Toutouchian, Hedayati, dan lainnya adalah sejumlah nama
yang dianggap sebagai tokoh mazhab ini.
Kedua, Aliran
Mainstream. Mazhab ini beda pendapat dengan mazhab yang pertama. Mazhab kedua
ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas
yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Keterbatasan sumber
daya memang ada, bahkan diakui Islam. Argumennya adalah ayat berikut : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”
(QS: Al-Baqarah [2]: 155). Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas
dianggap sebagai hal alamiah. Dalilnya: "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam
kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)"
(QS: At-Takaastur [102]:1-3).
BACA JUGA : Esensi EPISTEMOLOGI dan Ilmu EKONOMI ISLAM
Pandangan mahzab ini tentang masalah
ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional.
Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi.
Perbedaan mazhab mainstream dengan ekonomi konvensional terletak pada cara
menyelesaikan masalah tersebut.
Tokoh-tokoh mazhab ini di antaranya M.
Umer Capra, M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan lainnya. Mayoritas dari
mereka bekerja di Islamic Development Bank (IDB), yang memiliki dukungan dana
dan akses ke berbagai negara, sehingga penyebaran pemikirannya dapat dilakukan
dengan cepat dan mudah. Mereka para doktor sekaligus profesor di bidang ekonomi
yang belajar (dan ada juga yang mengajar) di universitas-universitas barat.
Oleh sebab itu, mazhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi
konvensional ke keranjang sampah.
Memang, mengambil hal-hal baik dan
bermanfaat yang dihasilkan oleh bangsa dan budaya non-Islam sama sekali tidak
diharamkan. Nabi bersabda bahwa hikmah/ilmu itu bagi umat Islam adalah ibarat
barang yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka umat Islamlah yang paling
berhak mengambilnya. Sejarah telah menujukkan kepada kita bahwa para ulama dan
ilmuwan Islam banyak yang meminjam ilmu dari peradaban lain seperti Yunani,
India, Persia, Cina dan sebagainya. Pendek kata, yang bermanfaat atau sesuai
dengan Islam diambil, yang tidak bermanfaat atau bertentangan dengan ajaran
Islam ditinggalkan.
Ketiga, Aliran
alternatif kritis (Alternatif). Pelopor mahzab ini adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi University of Sourthen
California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvad, Malaya), Muhammad Arif, dan
lain-lain. Mazhab ini mengkritik mazhab sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik
sebagai mazhab yang berusaha menemukan hal baru yang sebenarnya sudah ditemukan
oleh orang lain. Menghancurkan teori lama, kemudian menggantinya dengan teori
baru. Sementara itu, mazhab mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari
ekonomi neoklasik (modern) yang menghilangkan variabel riba dan memasukkan
variabel zakat dan niat. Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka punya
pendapat : analisis kritis bukan hanya dilakukan terhadap sosialisme dan
kapitalisme, tetapi juga terhadap EI itu sendiri. Kelompok ini, yakin, Islam
pasti benar, tetapi EI belum tentu benar karena ekonomi Islam adalah hasil
tafsiran manusia atas Al-Quran dan as-Sunnah sebagai epistimologi ilmu EI,
sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan
oleh EI harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana dilakukan terhadap ekonomi
konvensional.
Lebih lanjut, tak ubahnya, sistem
ekonomi konvensional—EI juga beda-beda konsepnya. Lantas muncul aliran-aliran
dalam EI. Pun kemudian, jika dtelisik sejarah pemikiran dalam ekonomi,
kemunculan aliran-aliran tidak lebih dan tidak kurang, sangat erat kaitanya
dengan situasi dan kondisi dan realitas
yang terjadi. Alhasil, satu aliran
melakukan koreksi ‘kritik, terhadap aliran dan pemikiran yang lain, di satu
sisi. Sementara disisi lain, melakukan evaluasi atas koreksi yang dilakukannya,
terhadap aliran-aliran ekonomi sebelumnya, atas dasr dianggap kurang bahkan
cenderung tidak mampu menyelesaikan persoalna ekonomi yang tengah dihadapi dan
terus berkembang.
Dalam ekonomi konvensional, kita juga mengenal
ekonomi klasik, neoklasik, Marxis, historis, instusional, moneteris, dan
lainnya. Demikian halnya, Ilmu EI , tidak terlepas dari apa yang
terjadi, dengan lain kata terdapat atau mazhab-mazhab ekonomi.
Demikian, ulasan saya. Sepenuhnya
uraian-uraian di atas, bersumber dari koleksi buku baru saya.wkwkwk. oh ya,
judulnya: Filsafat Ekonomi Islam.
Post a Comment